Selasa, 06 April 2010

Melihat Realitas Pendidikan Saat Ini

Pendidikan yang kini kita rasakan belum dapat menjamin generasi muda kita menjadi penerus yang lebih baik dikarenakan ada beberapa faktor yang hilang dalam pendiidkan itu sendiri, bisa kita melihat salah satu faktor yang tidak terpenuhi dalam hal ini adalah sistem pendidikan yang semakin hari semakin tidak jelas serta di perpuruk dengan sistem monitoring dan evaluasi yang tidak seimbang yang mengakibatkan cedera pendidikan semakin parah, belum lagi kita melihat kebijakan pemerintah yang setiap waktu berubah sesuai dengan kecenderungan dan kepentingan pemahaman yang berbeda – beda yang kemudian mengakibatkan seluruh sendi pendikan kebingunan entah mau melangkah kemana? dengan setiap ganti pemimpin maka akan berganti pula kebijakan yang diaplikasikan, walaupun sebagian orang mengatakan pencapaian sarana dari sisi bangunan sekolah saat ini sudah terlihat sedikit lebih baik dari sebelumnya , namum kwalitasnya dirasakan belum memenuhi keinginan ummat. Kemerosotan itu disebabkan oleh berbagai faktor, satu diantaranya adalah ketidak fahaman terhadap tujuan Pendidikan. Sebagian pendidik dan lembaga pendidikan berpandangan bahwa tujuan pendidikan adalah menyampaikan ilmu pengetahuan. Akibatnya semua usaha pendidikan hanya ditujuan untuk mentransmisikan ilmu pengetahuan kepada peserta didik. Disamping itu juga yang lebih besar pengaruhnya bila dilhat dari ‘serius” dengan segala kepentingan yang berpihak kepada semua masyarakat memberikan pelayanan yang penuh dan anggaran yang tepat dan transparan serta adil dalam pemberiannya sehingga mengakibatkan semangat perbaikan untuk lebih baik hanya terjadi pada wacana saja tidak dapat menyentuk lapisan aplikator seperti sekolah dan guru yang menjadi vioner perubahan dan pelaksanaan kebijakan tersebut. Sehingga apa yang terjadi saat ini adalah akbiat dari pemerintah kita yang tidak berpihak kepada kepentingan pendidikan kita. Maka dalam pendidkan harus kita evaluasi dan memperjelas tujuan pendidikan yang sebenarnya

Kebutuhan terhadap tujuan
Kebutuhan sistim dan lembaga Pendidikan terhadap tujuan disebabkan oleh dua masalah penting lainnya, yaitu:
1. Sistim pendidikan yang berkembang di negara kita adalah sistim yang diimpor dari barat. Sistim tersebut tidak serasi dengan budaya dan kebiasaan masyarakat indonesia. Kekhawatiran kita terhadap budaya Barat bukan berarti kita menutup diri dari semua budaya ini, tapi kita harus mempelajarinya dengan hati-hati dan kritis, dan menganggapnya sebagai salah satu informasi. Untuk mengatasi kesensitipan interaksi budaya itu dapat dilakukan dengan memperhatikan beberapa hal: (a) siapa yang kita pilih untuk berinteraksi itu; (b) pada umur berapa mereka kita bolehkan berinteraksi; dan (c) di mana tempat interaksi itu dilakukan.
2. sistim pendidikan di negara indonesia masih merupakan penceplakan terhadap model pendidikan lama yang berkembang di negara-negara barat. Pendidikan model lama itu belum memahami tujuan Pendidikan tersebut tidak menghayati hubungan tujuan dengan proses pendidikan. Tujuan satu-satunya yang terlihat dalam pendidikan lama ini adalah mentranformasikan budaya orang tua kepada anak-anaknya tanpa melakukan pengembangan dan tanpa memperhatikan kebutuhan masa depan anak tersebut. Hal ini sama dengan apa yang diungkap Allah dalam surat Az-zuhruf ayat 22.
Oleh sebab itu kurikulum yang diberikan kepada anak-anak saat ini sama dengan apa yang diberikan pada masa yang lalu tanpa memperhatikan perbedaan kebutuhan saat ini Akibat ketidak pahaman tujuan ini lahirlah keterbelakangan di berbagai lembaga pendidikan, baik dalam bidang kurikulum ataupun dalam bidang metode. Dan yang lebih naif lagi timbulnya dualisme, atau dikotomi dalam sistim pendidikan.

Terjadinya kehilangan tujuan dalam pendidikan mengakibatkan banyak terjadi kehancuran yang terpampang dalam kehidupan kita hari ini, dimana perkelahian pelajar menjadi tontongan harian yang tidak lepas dari tayangan televise dan media cetak yang ada, perkelahian pelajar terjadi dimana-mana. Di Jakarta misalnya, titik rawan perkelahian sudah melebar sampai ke daerah pinggiran Jakarta, Botabek. di desa Kreo, Ciledug misalnya, pagi buta mereka sudah baku hantam. Yang lebih memprihatinkan lagi perkelahian itu telah merebak ke tingkat mahasiswa.

Perkelahian ini telah merebak semenjak tahun 1995. Sampai bulan Mei 1996 saja telah tercatat 4 % sekolah menengah di Jakarta yang berjumlah 3.178 dengan 832.306 pelajar, terlibat dalam perkelahian. Data pada tahun terakhir ini belum ada yang dihimpun dengan baik. Sehingga masalah perkelahian pelajar ini telah menjadi keprihatinan berbagai kalangan, baik pendidik, ataupun pihak keamanan..

Yang menjadi pertanyaan, kenapa mereka jadi beringas ?
Siapakah yang bersalah dalam hal ini? Gurukah yang bersalah, atau orang tua yang kurang memperhatikan perkembangan anaknya, atau ketidak-pedulian masyarakat yang membawa bencana ini, atau barangkali pelajar yang pada umur ini yang mempunyai karakter yang tidak normal ? atau pemerintah yang membuat sistem seperti saat ini yang menimbulkan libah bencana besar ini? boleh jadi semua masalah tersebut sama-sama mempunyai andil dalam menciptakan situasi perkelahian pelajar itu.

Namun berikut ini kita hanya mencoba melihat sejauh-mana Pendidikan ikut bertanggung jawab terhadap gejala perkelahian itu. Kita menyadari bahwa perkelahian itu terjadi sewaktu mereka masih menuntut ilmu di sekolahnya, Sedangkan di sekolah mereka mendapatkan pelajaran tata krama, akhlaq dan sebagianya dari guru-guru mereka. Ditinjau dari gelaja ini, berarti misi pendidikan agama belum mencapai kesuksesan, atau dalam bahasa yang lebih lugas, misi pendidikan mengalami kegagalan.

Yang menjadi pertanyaan, dalam hubungan dengan tanggung jawab Pendidikan terhadap perkelahian tersebut, apakah yang menyebabkan misi tersebut tidak mencapai sasarannya?
Apakah alokasi waktu yang tidak memadai untuk pendidikan karakter yang menyebabkan kegagalan itu ?
atau kurikulum yang dirancang yang tidak memuat nilai etika yang memadai?
Atau guru hanya menyampaikan pelajaran tidak memberikan contoh tauladan yang baik dan semata-mata sebagai sebuah ilmu, dalam arti guru tidak menghayati misi pendidikan? Apakah pemerintah juga sudah kehilangan sistem yang paling baik untuk membentuk pelajar yang bermoral?

Tidak ada komentar: